What's New

  • You like Kejut and want to place a link to Kejut in your website? That's easy! Click here!
    Kejut.com
Email:
 

Ini adalah cerita tentang aku dan aku adalah tokoh utamanya.

Sebelum aku mulai bercerita, aku akan memperkenalkan diriku.

Aku seorang yang sangat tenang dan logis. Tekun, penuh perhitungan, sigap, cerdik, dan pengamat handal. Otakku sekuat dinamo, seteliti timbangan tukang kimia, dan menusuk sedalam pisau bedah. Lebih jauh lagi, aku baru 18 tahun.

Tidak banyak orang semuda aku mempunyai kepintaran sehebat aku. Sebagai contoh, Petey, teman sekamarku di universitas. Kami mempunyai latar belakang dan umur yang sama, tapi dia sedungu kerbau. Dia cukup ramah, seperti tebakanmu, tapi tidak ada yang istimewa dari dirinya. Dia sangat beremosi. Tidak stabil. Mudah terpengaruh. Dan lebih parah lagi, suka tergila-gila hal yang ga bermutu. Aku pikir, itulah yang membuat dia tidak punya alasan yang logis. Dia mudah terbawa kehebohan, menyerahkan dirinya pada kebodohan hanya karena orang-orang lain juga melakukannya - menurut aku inilah puncak ke-tidak-ber-otak-an. Walaupun Petey tidak merasa seperti itu.

Suatu saat aku melihat Petey lagi tidur-tiduran dengan raut muka penuh tekanan. Pasti dia terkena usus buntu.

"Jangan bergerak," kataku, "Jangan minum pelancar pencernaan. Akan kupanggil dokter."

"Rakun," ujarnya dalam-dalam.

"Rakun?" tanyaku terheran.

"Aku ingin mantel rakun," gumamnya.

 

Aku baru sadar masalahnya bukan pada fisiknya, tapi pada mentalnya. "Buat apa mantel rakun?"

"Seharusnya dari dulu aku sadar," tangisnya, menghentakkan sisi kepalanya. "Harusnya aku tahu mereka akan kembali ketika Charleston kembali. Kuhabiskan semua uangku untuk buku cetak, dan sekarang aku tak bisa membeli mantel rakun."

"Apa maksudmu," kataku tidak percaya, "Orang-orang lagi suka pakai mantel rakun?"

"Semua orang di kampus memakainya. Kau tak tahu?"

"Aku di perpustakaan," kataku, sebuah tempat yang jarang dikunjungi orang-orang di kampus.

Dia meloncat dari kasur dan berlari melintas. "Aku harus dapat mantel rakun," dengan semangat ia menambahkan, "Harus!"

"Petey, coba lihat dengan rasional. Mantel rakun itu jorok. Lembab dan bau. Berat. Jelek dipandang. Dan…"

"Kau tidak mengerti," selanya tidak sabar. "Itulah hal yang harus ada. Tidakkah kau mau mengikuti arus?"

"Tidak," ucapku jujur.

"Aku sih mau," katanya. "Apapun akan kuberikan demi mantel rakun. Apapun!"

Otakku, alat yang sangat teliti itu, pindah ke gigi atas. "Apapun?" aku lihat dia dengan pandangan sempit.

"Ya, apapun!" jawabnya dengan yakin dan merdu.

Aku usap daguku dengan penuh pikiran. Dan aku pikirkan bagaimana cara mendapatkan mantel rakun. Papaku punya satu mantel rakun waktu kuliah, yang sekarang ada di gudang rumahku.
Dan sebetulnya Petey punya sesuatu yang kuinginkan. Dia tidak benar-benar punya, tapi setidaknya dia punya hak utama atasnya, yaitu teman ceweknya, Polly.

Aku sudah lama mengagumi Polly. Aku tekankan di sini bahwa hasratku pada cewek ini tidak berdasarkan emosi. Dia cewek yang meluap-luapkan emosiku, aku tau, tapi aku bukan
seseorang yang membiarkan perasaan mengalahkan kepalaku. Aku ingin Polly karena setelah aku perhitungkan, ada alasan yang sesuai dengan otakku.

Saat ini aku seorang mahasiswa baru (tahun pertama kuliah) di sekolah hukum. Beberapa tahun kemudian aku harus mulai kerja. Aku tau betapa pentingnya istri yang cocok untuk pengacara sepertiku. Hampir semua pengacara yang kuamati menikah dengan wanita cantik, anggun, dan ramah. Selain dalam satu hal, Polly benar2 cocok dengan syarat2 itu.

Dia cantik. Dia belum punya proporsi tubuh yang sempurna, tapi waktu akan memperbaikinya. Dia sudah siap untuk itu.

Dia ramah. Ramah dalam arti penuh dengan keakraban. Dia rela menanggung beban. Dan dia berasal dari keluarga yang beradab. Dia punya tata cara makan (table manner) yang indah. Aku melihat dia makan di kantin kampus - makan sandwich yang berisi daging panggang, saus, bubuk kacang, dan olesan sauerkraut - tanpa sedikitpun membiarkan jarinya lembab.

Sayangnya, dia tidak pintar! Lebih tepatnya, sangat berlawanan dari pintar. Tapi aku percaya, dengan bimbinganku dia akan menjadi pintar. Bagaimanapun juga, itu boleh dicoba karena lebih mudah membuat pintar cewek bodoh daripada membuat cantik cewek jelek yang pintar.

"Petey," sahutku, "Kau suka Polly?"

"Aku rasa begitu," katanya, "tapi aku tidak yakin apakah aku menyukainya."

"Apa kau sudah membuat suatu perjanjian dengannya? Pacaran atau semacam itu."

"Belum. Kami sering bertemu, tapi kami juga bertemu orang-orang lain."

"Hm. Apa ada cowok lain yang Polly suka?"

"Kurasa tidak. Kenapa sih?"

Aku mengangguk senang. "Jadi, kalau kau tidak bersamanya, lapangan akan terbuka lebar. Tul kan?"

"Iya sepertinya begitu. Memang kenapa?"

"Tidak apa-apa," aku poloskan suaraku, lalu aku ambil koperku dari lemari.

"Mau ke mana?" tanya Petey.

"Pulang ke rumahku. Mumpung akhir minggu."

"Eh, waktu kau pulang. Bagaimana kalau kau pinjam uang dari papamu, lalu nanti aku pinjam dari mu, supaya aku bisa beli mantel rakun?"

"Tenang saja. Kau akan lihat hal yang lebih indah terjadi." Aku mengedipkan mataku, lalu berangkat.

=====

"Lihat ini!" kataku kepada Petey ketika aku kembali. Aku buka koperku, lalu aku keluarkan sebuah benda besar, berbulu, dan bau yang dipakai ayahku pada tahun 1925.

"YA AMPUN!" teriak Petey. Dia meraih mantel rakun itu dan menampar wajahnya sendiri. "YA AMPUN!" dia mengulanginya sekitar 15 sampai 20 kali lagi.

"Mau?" tanyaku.

"Tentu!" tangisnya, sambil merebut benda berbulu itu, lalu tampangnya yang curiga tampak melalui matanya. "Mau apa sebagai gantinya?"

"Cewekmu," tanpa kata-kata lain aku menjawab.

"Polly?" bisiknya ketakutan. "Kau mau Polly?"

"Ya. Betul."

"Tidak!" katanya sambil melempar mantel rakun itu menjauh dari tubuhnya.

"Baiklah," kataku, "Kalau kau tidak ingin ikut arus, itu urusanmu."

Aku duduk dan berpura-pura membaca buku, tapi ujung mataku terus mengintip Petey. Keliatannya dia sangat tersayat. Dia memandangi mantel rakun itu seperti orang jualan roti di toko roti yang ga laku. Kemudian dia menggeser-geser rahangnya. Melihat mantel rakun itu lagi dengan penuh hasrat, lalu memalingkan mukanya dengan kurang yakin. Bolak-balik. Lihat sana-sini. Keinginannya semakin kuat, keputusan awalnya pun luluh. Petey semakin ingin memiliki mantel rakun itu. Akhirnya dia hanya bisa menatap mantel rakun itu dengan gairah yang besar.

"Sebetulnya aku tidak benar-benar suka Polly sih," katanya pelan. "Dan kami pun belum begitu yakin satu sama lain."

"Memang," gumamku.

"Siapakah Polly bagiku, siapakah aku bagi Polly?"

"Bukan siapa-siapa," kataku.

"Cuma teman ngobrol-ngobrol aja. Ketawa-ketawa sedikit."

"Ayo, cobalah mantelnya," kataku.

Dia menurut. Mantel itu dikenakannya dan dia menjadi seperti timbunan rakun mati. "Pas ukurannya," katanya dengan gembira.

Aku berdiri. "Jadi?" sambil aku ulurkan tanganku.

"Baiklah," katanya dan dia pun menjabat tanganku.

Keesokan sorenya aku berkencan dengan Polly. Itulah sifat alami survey, aku ingin tahu seberapa banyak aku harus berusaha untuk membuat Polly mencapai standarku.
Aku ajak dia makan malam. "Wah, uenak makanannya," kata Polly ketika kami keluar dari restoran.
Lalu aku ajak nonton. "Wah, keyen filmnya," katanya ketika keluar dari bioskop.
Lalu aku antar ke rumahnya. "Wah, aciek juga," katanya saat kami berpisah.

Aku kembali ke kamarku dengat berat hati. Ternyata tugasku tidak semudah yang kubayangkan. Polly benar-benar tak berpengetahuan.
Dia harus kuajarkan dulu bagaimana cara berpikir. Sebelum itu, aku hampir sama mengembalikan Polly kepada Petey, tetapi aku membayangkan betapa manisnya dia dan cara dia memasuki ruangan dan cara dia memegang pisau dan garpu, maka aku putuskan aku akan berusaha sekali lagi.

Aku harus memberinya pelajaran mengenai logika. Aku memang sangat menguasai logika. "Pol," ujarku padanya ketika aku berkencan keesokan harinya, "malam ini kita akan ke kantin dan berbicara tentang.."

"Oh, serem," katanya. Satu hal yang bisa kuungkapkan tentang dia: tidak banyak cewek yang mudah setuju seperti dia.

"Mau ngomongin apa sih?" tanyanya ketika kami sampai di pinggir kampus di bawah pohon oak tua.

"Logika"

Polly terdiam satu menit dan dia menyukainya. "Hebat," katanya.

"Logika," ucapku sambil berdehem, "adalah ilmu berpikir. Sebelum kita berpikir dengan benar, kita harus tau kesalahan yang sering terjadi. Malam ini juga kita mulai."

"Hore!!" teriaknya, sambil bertepuk tangan.

======

"Oke, mari kita mulai dari kesalahan yang pertama: Dicto Simpliciter."

"Silakan," katanya.

"Dicto Simpliciter artinya generalisasi yang tidak berdasar. Contoh: olahraga itu baik. Maka semua orang harus olahraga."

"Setuju," sahut Polly. "Maksudku olahraga itu bagus. Membangun tubuh dan gitu deh."

"Polly," ujarku lembut, "argumen itu suatu kesalahan. ‘Olahraga itu baik’ harus disertai syarat. Misalnya, kalau punya sakit jantung, olahraga itu jelek, tidak baik. Banyak orang disuruh dokternya jangan berolahraga. Kau harus memberi syarat-syarat pada saat melakukan generalisasi. Kau harus bilang ‘olahraga biasanya baik’ atau ‘olahraga baik bagi kebanyakan orang’. Kalau tidak kau mengikuti Dicto Simpliciter. Ngerti?"

"Ga." akunya. "Tapi keren. Lanjut! Lanjut!"

"Lebih baik kau jangan tarik-tarik lenganku," kataku dan ketika dia menghentikannya, aku lanjutkan. "Sekarang kesalahan lain, yang disebut Hasty Generalization. Yaitu: Kau ga bisa bahasa Perancis. Petey juga ga bisa. Kesimpulannya adalah tidak ada orang di kampus yang bisa bahasa Perancis."

"Masa? Tidak seorangpun?"

Aku sembunyikan kekesalanku. "Polly, itulah kesalahan. Generalisasi itu dicapai terlalu awal. Terlalu sedikit contoh (sampel) yang mendukung kesimpulan itu"

"Ada lagi yang lain?" katanya tanpa sempat mengambil napas. "Ini benar-benar menarik, lebih menarik daripada berdansa."

Sepertinya percuma aku teruskan, pikirku. Tapi akan sia-sia kalau aku menyerah. Maka kulanjutkan. "Post Hoc. Yaitu: Jangan ajak Bill piknik bersama. Setiap kali dia ikut, hujan turun."

"Iya, ada juga temanku yang gitu. Eula namanya. Tiap kali kami piknik bersama…"

"Polly," kataku tajam, "itu suatu kesalahan. Eula bukan penyebab hujan. Dia ga ada hubungannya dengan hujan. Kau melakukan kesalahan Post Hoc kalau kau menyalahkan Eula."

"Baiklah, aku janji." "Kau marah sama aku?"

Aku berdesah. "Tidak, Polly. Aku ga marah kok."

"Lanjutkan kesalahan-kesalahan lain dong"

"Oke. Contradictory Premises," kataku dengan cemberut. "Contohnya: Kalau Tuhan bisa melakukan apapun, dia bisa membuat batu yang tidak bisa Dia angkat."

"Tentu," jawabnya cekatan.

"Tapi kalau Dia bisa melakukan segalanya, dia bisa mengangkat batu itu," jelasku.

"Tentu" katanya serius. "Berarti dia tidak bisa bikin batu kayak gitu."

"Tapi dia bisa melakukan apapun," aku peringatkan dia.

Dia menggaruk kepalanya yang kosong. "Bingung ah."

"Ya pasti. Karena premis argumen itu saling bertentangan, maka tidak ada argumen yang jadi. Kalau ada gaya yang bisa ditahan, tidak ada barang yang tidak bisa digerakkan. Kalau ada barang yang tidak bisa digerakkan, tidak mungkin ada gaya yang tidak bisa ditahan. Paham?"

"Terusin lagi dong."

Kuantar dia pulang dan hampir saja kuserahkan Polly kembali kepada Petey.

=======

Di bawah pohon oak besoknya, aku berkata, "Malam ini kesalahan logika pertama kita adalah Ad Misericordiam. Seorang melamar kerja. Ketika bosnya bertanya apa gelarnya, dia bilang dia seorang ibu dengan 6 anak di rumahnya, anaknya kelaparan, ga punya baju, ga punya sepatu, ga punya kasur, ga punya pemanas saat musim dingin hampir tiba."

Polly meneteskan air mata sampai ke pipinya "Kasihan, kasihan!"

"Ya. Tapi tidak ada argumen. Orang itu tidak menjawab pertanyaan Bos itu. Dia hanya mencari belas kasihan Bosnya. Dia bersalah Ad Misericordiam. Paham?"

"Punya saputangan, ga?"

Sambil aku berikan saputanganku padanya, aku lanjutkan dengan hati-hati. "Setelah ini kita bahas False Analogy. Contohnya: Murid harus diperbolehkan membaca buku cetak ketika ujian. Itu dikarenakan dokter bedah saja punya X-ray ketika operasi, pengacara punya buku hukum yang bisa dilihat ketika sidang, tukang kayu punya rancangan di atas kertas ketika membangun rumah. Kalau begitu, kenapa murid tidak boleh melihat buku cetak ketika ujian?"

"Wah, ini bener-bener ide baru, tidak pernah aku dengar selama bertahun-tahun!"

"Polly, semua alasan itu salah. Dokter, pengacara, dan tukang kayu tidak sedang menguji dirinya sendiri, tetapi murid-murid sedang menguji apa yang mereka pelajari. Situasinya berbeda, tidak boleh ada analogi (pengumpamaan) di antara mereka."

"Pokoknya itu ide bagus," kata Polly.

"Bodoh," bisikku. Aku teruskan walau terpaksa, "Sekarang: Hypotesis Contrary to Fact."

"Kedengerannya menarik," tanggap Polly.

"Simak ini: Kalau Madame Curie tidak meninggalkan plat fotografik di lacinya dengan sebongkah mineral pitchblende, dunia kita yang sekarang tidak akan mengenal radium."

"Betul, betul," kata Polly mengangguk. "Sudah nonton filmnya? Benar-benar mengejutkanku. Walter Pidgeon itu benar-benar pemimpi. Dia membelah hatiku.

"Kalau kau bisa melupakan tuan Pidgeon sesaat," sahutku dingin, "aku mau menunjukkan bahwa kalimat tadi itu sebuah kesalahan. Mungkin, Madame Curie akan menemukan radium di saat lain. Mungkin, orang lain yang akan menemukannya. Mungkin, hal-hal lain akan terjadi. Maka kau ga bisa mulai dari hipotesis yang tidak benar dan mengambil kesimpulan yang mempunyai dukungan dari situ."

"Mereka harus menaruh lebih banyak foto Walter Pidgeon," kata Polly, "Sudah lama aku tidak melihatnya."

Satu kesempatan lagi, pikirku. Dan hanya satu. Ada batas ketahanan daging dan darahku. "Kesalahan berikutnya disebut Poisoning the Well (meracuni sumur)."

"Lucunya!" Polly kumur-kumur.

"Dua orang sedang berdebat. Yang pertama berdiri dan berkata, 'Lawanku ini sudah jelas pembohong. Kau tidak boleh percaya satu pun kata yang diucapkannya.' ... Kali ini, Polly, Pikir!. Pikir baik-baik! Apa yang salah?"

Aku memandang erat Polly yang sedang berkonsentrasi, memegang-megang alisnya yang kecoklatan. Tiba-tiba secercah ide - pertama kalinya kulihat - tampak di matanya. "Tidak adil," katanya dengan marah.

"Tidak adil sama sekali. Tidak boleh orang pertama menyebut orang kedua itu seorang pembohong kalau belum dikasih kesempatan bicara."

"Betul!" dengan berapi-api aku berteriak. "100% benar! Itu tidak adil. Orang pertama sudah meracuni sumur sebelum seorang pun minum dari sumur itu. Dia sudah melumpuhkan lawannya sebelum lawannya memulai... Polly, aku bangga padamu."

"Tuh, kan," gumam Polly tersipu malu dan gembira.

"Lihat, sayangku, hal-hal demikian tak begitu susah. Hanya butuh konsentrasi. Pikir - periksa - nilai. Sini, kita ulangi semua yang sudah kita pelajari."

"Ayo mulai!" dengan semangat Polly melontarkan tangannya.

Terperangah ketika tahu bahwa Polly tidak benar-benar bodoh, aku memulai pengulasan kembali semua yang sudah kuajarkan kepadanya. Berkali-kali aku memberi contoh, menyebutkan kesalahan-kesalahan, dan terus mendorongnya tanpa henti. Rasanya seperti menggali terowongan. Pada awalnya, semuanya kerja keras, keringat, dan kegelapan. Tidak kutahu kapan aku akan mencapai sinar, atau akankah aku akan mencapai sinar, tapi aku tetap teguh. Aku memukul dan menggosok, dan pada akhirnya aku mendapat upahnya. Aku melihat secercah cahaya. Dan cahaya yang masuk itu semakin melebar, dan cahaya matahari mengalir masuk dan segalanya menjadi terang.

=====

Sudah lima hari aku berkencan. Benar-benar tidak sia-sia. Aku sudah membuat Polly menjadi ahli logika. Dia sudah kuajarkan berpikir. Tugasku selesai. Dia seorang yang pantas untukku, Akhirnya, Dia cocok menjadi istriku, seorang pengurus rumah tangga untuk rumah besarku, seorang ibu yang cocok untuk anak-anakku yang kaya.

Jangan pikir aku tidak jatuh cinta pada Polly. Justru sebaliknya. Aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya saat bertemu lagi. Mengubah relasi kami dari akademik menjadi romantik.

"Polly," ketika kami bertemu lagi di bawah pohon oak tua, "malam ini kita tidak membicarakan macam-macam kesalahan logika."

"Ah, yah," katanya dengan kecewa.

"Sayangku," kataku sambil tersenyum padanya, "kita sudah melewati waktu 5 hari bersama. Kita sudah menjadi akrab dengan tak terduga. Pasti kita pasangan yang benar-benar cocok."

"Hasty Generalization," kata Polly dengan suara cerah.

"Eh? Apa kau bilang tadi?"

"Hasty Generalization," ulangnya. "Bagaimana kau bisa bilang kita cocok hanya berdasarkan lima kali kencan?"

Aku terbahak-bahak saking kagetnya. Anak ini benar-benar memahami pelajarannya. "Sayangku," kataku, sambil menepuknya dengan sopan, "lima hari sudah cukup banyak. Kau kan tidak perlu makan seluruh kue untuk mengetahui bahwa kue itu enak."

"False Analogy," kata Polly cepat. "Aku bukan kue. Aku manusia."

Aku tertawa - tidak segembira sebelumnya. Mungkin anak ini sudah belajar terlalu banyak. Aku perlu ganti taktik. Pasti cara yang benar adalah dengan pengungkapan cinta yang sederhana, tegas, dan langsung. Aku berhenti sejenak ketika otakku yang besar ini memikirkan kata yang tepat. Dan aku mulai:

"Polly, aku cinta kau. Kaulah seluruh dunia bagiku, bulan, dan bintang dan gugusan di luar angkasa. Tolong, sayangku, katakan kau mau hidup bersamaku, kalau tidak, hidupku akan tidak berarti. Aku akan kehilangan harapan. Aku akan tidak nafsu makan. Aku akan mengelana bumi sebagai mahluk besar dengan pandangan kosong."

Bagus, pikirku. Kulipat tanganku, sesuai dengan ekspresi yang ingin kutimbulkan.

"Ad Misericordiam," kata Polly.

Aku menggertakkan gigiku. Aku menjadi Frankenstein, monsterku memakanku di kerongkonganku. Dengan liar aku melawan balik ombak kepanikan yang melesapiku. Aku harus tetap tampil tenang.

"Betul, Polly," kataku dengan senyum yang dipaksakan. "Kau memang sudah mempelajari kesalahan-kesalahan logika."

"Benar-benar betul," kata Polly dengan anggukan yang bertenaga.

"Dan siapa yang mengajarkanmu?" tanyaku.

"Kau."

"Betul. Jadi kau berhutang padaku, tidakkah begitu, sayangku? Kalau aku tidak bersama denganmu, kau tidak akan mengerti mengenai kesalahan logika."

"Hypothesis Contrary to Fact," katanya saat itu juga.

Aku mengebaskan keringat dari alisku. "Polly," aku menggaok, "Jangan terlalu menganggap kata-kataku secara literal. Ini hanya ajaran sekolah. Kau tau kan, hal-hal yang kita pelajari di sekolah tidak berhubungan dengan hidup nyata."

"Dicto Simpliciter," katanya, menggoyang-goyangkan jarinya dengan lincah padaku.

Itulah puncaknya. Aku bangun dan berdiri, mengerang seperti kerbau, "Jadi mau pacaran denganku atau tidak?"

"Tidak," jawab Polly.

"Kenapa tidak?" paksaku.

"Karena tadi sore aku berjanji pada Petey, aku akan berpacaran dengannya."

Aku terombang-ambing mendengar ketidakmasukakalan itu. Petey sudah berjanji, membuat transaksi denganku, bahkan menjabat tanganku. "Dasar tikus!" pekikku sambil menendang semak belukar. "Kau tidak boleh jadian dengannya, Polly. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tikus!"

"Poisoning the Well," kata Polly, "dan jangan teriak. Kurasa teriak juga suatu kesalahan logika."

Dengan usaha yang bukan main besarnya, aku menjaga volume suaraku. "Baiklah," kataku. "Kau memang ahli logika. Sekarang perhatikan ini dengan logikamu. Bagaimana kau bisa memilih Petey daripada aku? Lihatlah aku: murid brilian, intelektual besar, seorang dengan masa depan cerah. Lihat Petey: otak dengkul, canggung, seorang yang ga tau dari mana lagi dia bisa makan. Apakah kau bisa coba beri aku satu alasan logis kenapa kau mau jadian dengan Petey?"

"Tentu saja bisa," kata Polly, "dia punya mantel rakun."

(Diterjemahkan dari Love is a Fallacy, karya Max Shulman)

Written by: adhi+yuku

Hoho..bagus !!!

Olivia [sg], 7 Mar 2011, 20:21 reply
Aku sudah baca sampai dua kali. Artikel yang bagus banget. Terima kasih, Yuku.

Adhi [--], 7 Mar 2011, 20:50 reply
good work......hahaa....

felita [au], 12 Mar 2011, 7:01 reply
Ho3. Nice post..... ditunggu cerita-cerita berikutnya

Andry [--], 13 Mar 2011, 13:14 reply
Super LOL ! Dalem banget critanya :D

Mima [id], 8 Apr 2011, 9:47 reply