|
7 Mar 2006 To See with No Eyes72968 Melihat Tanpa Mata Sebagian dari cerita ini mungkin fiksi. Atau malah semuanya. Profil tokoh Aku: seorang mahasiswa jurusan teknik komputer, yang wajib kerja praktek pada semester enam. (Dengan begini tak perlu menulis penokohan dengan panjang lebar.) Persiapan Hari baru. Hari dimana aku harusnya akan mengalami kehidupan baru. Mulai hari ini aku mulai kerja praktek atau disebut IA (industrial attachment) di sini. Perusahaannya memang bukan pilihan pertamaku, karena pilihan pertama sudah kutolak. Jadi aku sekarang kerja di PT Houteki, sebuah perusahaan di selatan NTU. Masuk jam 830, dan kupikir perlu beberapa saat menyesuaikan diri dan tanya2, maka bangun pagi jam 615 dan sampe di perus jam 820. Kesan pertama cukup buruk, yaitu perjalanannya lebih lama dari yang dikira, naik bis 252, walau tak begitu jauh, tapi di setiap halte bisnya berhenti! Tiba, di bangunan bercat biru muda, di sudut atas kiri tertulis PT Houteki, Layanan Pengukuran Logam. Sedikit memberanikan diri, kudorong pintu berkaca gelap. Tak bisa dibuka. Datang seorang berkemeja, agak gendut dan tinggi. Dia bilang, "Lewat sini!" sambil menunjukkan jalan samping. Kutanya, "Apa kamu Tuan Chan?" "Betul, kamu murid IA yah?" jawabnya dengan bahasa Inggris yang ga jelas. Ternyata dia supervisorku ("Sup"), alias orang yang akan ngatur2 atau nyuruh2. Aku dibawa masuk ke ruang besar berlangit-langit tinggi dengan mesin2 sebesar gajah berletakan di mana2. Suasana ribut dan gelap. "Ini kartu absenmu, masukkan ke mesin ini, liat tanggalnya, balik, masukin, karena ini uda tanggal segini," dia menjelaskan. Aku pura2 mengerti dulu saja, memberi kesan bagus sedikit, nanti juga bisa diliat sendiri cara kerja mesin absen. "Setiap kali kamu keluar, masuk, jangan lupa absen di sini. Sekarang kamu naik ke atas cari TUDING, minta baju dan sepatu." Aku berharap itu suatu nama orang dan bukan sebuah kata bahasa Inggris yang tak kutangkap. "Tu... ding?" tanyaku. "Ya, cewe yang di kantor di atas. Minta seragammu di sana," kalau tak salah itu yang dikatakan Sup. Aku naik tangga sambil melihat sekeliling. Tibalah ke suatu ruangan yang berbeda jauh dengan yang di bawah. Ruangan itu terang, sejuk, kulihat 3 orang cewe setengah baya (maksudnya bukan nenek2) lalu aku kebingungan. "Bisa bicara dengan TUDING?" kataku kepada sembarang orang. Mereka mengacuhkanku dan tetap sibuk dengan komputer dan telepon masing2. Sepertinya mereka sekretaris. Tiba2 seorang memanggilku, "Kamu murid itu?" dengan ekspresi galak. "Ya." "Sepatumu nomer berapa." "Hmm... 44?" Dia membalasnya dengan ucapan tak enak didengar yang tak berhasil kutangkap maknanya. Jadi aku teruskan saja, "... kalo ukuran Amerikanya 10." Dia memalingkan mukanya ke belakang seraya berkata dengan datar, "Diambil dulu." Tiga kaos biru bertuliskan nama perusahaan dan sepatu hitam dengan kulit imitasi yang terkelupas diberikan padaku. Kucoba sepatunya, terlalu besar, minta ganti nomer 9 aja, dan cukup pas. Maka aku turun tangga dan ke WC berganti baju. Ruang Kerja Kumasuki ruang cukup terang dan dingin dan sedikit terbebas dari keributan mesin2 gajah. Di ruangan sebesar 5 x 4 meter itu ada seorang India yang sedang berkomputer, dan kurasa dia yang akan sama kerjaannya denganku. Karena tak tau mau ngomong apa, kutanya saja udah kerja berapa lama. Dan dari mana. Dan ngapain. Dan, "Enak ga kerja di sini?" "xxx, semua di sini sudah seperti keluarga," jawabnya, dimana "xxx" menandakan ucapan Inggris gaya India yang tak kutangkap. Sup datang, menyuruhku memilih di antara 2 komputer yang tak dipakai, mana yang lebih suka. Dari penampilan luar sudah terlihat, satu bermonitor 15 inci dan satu lagi 14. Kucoba dulu yang 14. Layarnya sangat berkedip dan tak enak dilihat. 500 MHz, RAM 192 MB. Dan coba yang satu lagi, 800 MHz 192 MB dengan layar yang sedikit lebih ga berkedip. "Kurasa aku pilih yang ini!" kataku, masih berusaha sopan kepada Sup. Aku disuruh duduk sama Sup di sebuah meja dengan beberapa alat yang tak kukenal. Di meja itu berceceran benda bentuk tabung. "Kamu mau kerjanya komputer, atau mau lihat dunia lain?" "Boleh, aku coba yang lain juga." "Betul, bagus begitu, nanti kalau kamu kerja setelah lulus juga lebih berwawasan luas." "Ok" Sup menjelaskan, perusahaan ini kerjanya memanaskan barang2 sesuai permintaan pelanggan untuk mengubah struktur mikronya. Bisa dijadiin lembek, keras, lentur, dsb, tergantung suhunya. Sedangkan lab tempat aku berada ini biasanya dipakai untuk mengukur kekerasan logam. Aku diberikan buku panduan kerjaan di perusahaan. Banyak yang bukan bidangku, seperti cara penanganan mesin2 dan standar2 entah apa. Sekilas saja baca. Tiba saatnya, kata Sup, aku belajar mengukur kekerasan logam. Pertama-tama, ambil logam contoh, masukkan ke alat Mounter ini. Naikkan tumpuannya, taruh logamnya, masukkan bubuk hitam, turunkan, tutup, atur tombol ke 12 menit pemanasan dan 12 menit pendinginan, dan suhu 175°C. "Tapi karena alatnya rusak, setelah 12 menit harus putar kenop ini untuk atur balik suhunya ke 0°C." 12 menit berlalu. "Keluarkan tekanan dengan menekan tombol bawah, sampai jarum penunjuk ke 0." Tapi tampaknya uda rusak juga, ditekan ke bawah tetap ga 0. "Setelah itu pakailah mesin Reindeer untuk menghaluskannya. Pakai nomer dari kecil ke besar." "Reindeer?" "Iya, mesin ini namanya Reindeer. Kamu ambil ini dari kecil ke besar," sambil menunjukkan lembaran2 yang dipotong bulat berwarna abu-abu. ... tak taulah apa maksudnya. Setelah lihat2 sendiri, barulah aku tau maksudnya mesin itu namanya Grinder, dan itu mesin pemutar amplas. Amplasnya ada nomernya, dari nomer 60 yang paling kasar, sampe 2500 yang sangat halus. Sup memberi contoh mengamplas dengan nomer 60 sampai 240. Sedangkan aku disuruh mengamplas mulai nomor 600 ke atas. Garis2 sisa penggosokan yang lebih kasar harus menghilang saat digosok dengan yang lebih halus. Namun tak sesuai harapan, berapa puluh menitpun kugosok logam dengan amplas 600, sisa garis dari yang 240 tak kunjung hilang. Mulai bosan, tapi Sup berkata, "Nanti semakin lama semakin biasa. Pasti kamu bisa." Kira2 setengah jam berlalu, bolak balik amplas halus-kasar, tercapailah permukaan cukup halus. Lalu aku nganggur lagi. Melihat2 dan mondar-mandir sambil berdiri dan tidak ada yang membuatku terkesan. Sup datang. "Kalau sudah begini, masukkan ke Polisher, kasih cairan aluminium," dan seterusnya pokonya itu bukan hal yang menarik untuk diceritakan. Singkatnya setelah itu dicuci dengan alkohol dan dipengeringrambutkan. "Sekarang saya ajari kamu cara menguji kekerasan logam," lanjutnya, seraya mengulangnya beberapa kali, karena aku terus menerus berkata, "haah?", akibat mendengar perkataan Sup yang patah-patah dan salah baca. Salah satu contohnya, "agent" terdengar bagaikan "angel". 見てはいけないのを見る Jadi beginilah cara mengukur kekerasan logam:
Setelah itu aku diberi 4 jenis logam lagi dengan bentuk aneh2 dan disuruh berlatih dengan itu. Misalnya harusnya 724 dan kudapatkan 740 kata Sup itu terlalu jauh dan ulang lagi! Lalu, kata Sup, kekerasan logam di tiap tempat beda2. Kalau ada logam yang sudah diperkeras, bagian pinggir akan lebih keras daripada tengah. Jadi aku disuruh mengetes kekerasan logam dari suatu logam bergerigi. Cari dulu di mikroskop mana bagian pinggir logamnya, tepatkan sisi pinggir logam itu dengan garis di lubang mikroskop. Bentuk logamnya kira2 begini /|/|/|. "Sudah kamu paskan pinggir logamnya?" "Sudah." "Masa? Coba saya liat." "OK." ... "Mana? Ini belum betul. Ini.. ini bukan pinggir logam yang benar. Ini sisi lain." "Benar kok Pak. Sudah saya liat ada geriginya." "Bukan yang itu. Kamu liat lagi." "Tapi saya sudah liat, bentuknya tepat begini ko." ... "Oh! Ya, kamu benar." "Lalu?" "Beri penekanan pada jarak 0.05 mm, 0.1 mm, 0.2 mm, 0.3 mm, 0.5 mm, 1 mm dari pinggir logam." Setelah itu aku diajari cara mengukur jarak dari pinggir logam dengan menggunakan mikrometer sekrup yang terpasang di mikroskop. Mataku uda pegel. Pengajaran lama dan Sup banyak sibuk sendiri dan ngoceh bahasa asing yang asing bagiku. Lalu aku mencoba bikin jarak 0.05 mm, 0.1 mm, 0.2 mm, ... tapi setelah diukur ulang ternyata kubuat pada 0.05 mm, 0.15 mm, 0.25 mm, entah kenapa. Coba ulang lagi, ternyata jadinya 0.1 mm, 0.15 mm, ... kacau lagi, sampai yang ke 4 kali baru benar. Aku sendiri bingung kenapa bisa salah padahal hanya memutar sekrup dan lihat perubahan angkanya, misalnya untuk membuat jarak 0.05 mm berarti putar sekrup sebanyak 5 garis. Sepertinya aku sudah terlalu jenuh dan bosan sehingga menghitung begituan saja salah terus. 6 lubang yang dibuat itu diukur lebarnya, sama seperti sebelumnya. Tapi keliatannya ukuran ketupatnya sama semua, diukur pun kira2 hasilnya 20.5, 21, ... semuanya sama saja sekitar segitu. Jadi aku bilang ke Sup, "Keliatannya semua sama saja ukurannya." Lalu Sup melihat sekilas ke dalam mikroskop, dan berkata, "Memang keliatannya sama, tapi kalau diukur beda." "Tapi..." "Ada! Ada sedikit bedanya. Coba kamu ukur lagi." Sayangnya, aku uda bosan dan ga niat lakukan hal itu lagi. Mata kananku juga uda cape karena liat mikroskop terus sedangkan mata kiri ga dipakai. Serasa ada sesuatu di dalam kelopak mata yang mengganggu. Jadi aku berhenti sebentar, tarik-tiup napas kuat2 dan menegakkan bulu punggung. Ternyata "Kurasa aku tak tertarik dengan pekerjaan semacam ini," kataku dengan tegas pada Sup. "Kalau pekerjaan yang berhubungan dengan komputer, apapun boleh. Tapi aku ga mau kerja melihat mikroskop. Mataku pun terasa... " -- aduh, apa bahasa Inggrisnya? -- "not nice!" "Jadi kamu tak mau begini? Padahal ini akan menambah pengetahuanmu tentang material. Tadi kan kamu bilang mau mencoba hal lain juga." "Tidak Pak. Ternyata aku tidak suka begini. Aku mau kerjakan pekerjaan yang aslinya sudah ditetapkan buatku saja." "Dalam beberapa hari ini kamu juga akan mengalami banyak pengalaman dan pengetahuan dan kamu bisa mengukur panjang retakan dan membuat laporan mengenai retakan dan tekanan dan ini tak akan berlangsung setiap hari dan kamu bisa coba yang lain juga dan ini sangat menarik dan..." "Tenang, ini masih hari pertama...," pikirku. "Tak baik kalau memotong pembicaraan orang lain. Tapi..." "Cukuuuuuppp!!!" pekikku, "..." tapi kemudian aku tak dapat berkata apa2. Karena cuma bisa kesal dalam bahasa Indonesia. Ga bisa dalam bahasa Inggris. Sup tertegun. Matanya melotot dan memerah. Tiba2 dia pun terdiam dan memandangku selama 43 detik. Aku pun memandangnya, sekalian melihat kenapa gendut tapi wajahnya berkerut. Lalu Sup menundukkan kepalanya. Mungkin saja dia sedang melihat sepatuku yang tak layak pakai. Tapi sepertinya bukan begitu, karena matanya tak mungkin memerah kalau melihat sepatu hitam. Ya sudah, aku juga ga tau sebaiknya gimana, entah dia marah ato sedih ato lagi bersandiwara. Jadi daripada ngeliatin Sup, kulihat saja mesin2 yang tergeletak di sana. Dua-duanya sama tak menariknya. Sup pun tidak berkata apa2. Ujung matanya mulai basah dan dia segera mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap mata. Segera dia beranjak ke ruangannya sambil berbisik kepadaku, "Maafkan aku. Segera tinggalkan perusahaan ini. Cari perusahaan lain. Ini demi kebaikanmu." Belum Selesai, Masih Ada Tinggal setengah jam sebelum jam selesai kerja. Aku pun jadi tegang, apa sih yang sebenarnya terjadi? Apakah aku begitu menyakitkan Sup, atau yang namanya Tuan Chan itu?
Tapi ternyata bukan begitu. Minggu lalu, dia mendapat order untuk mengecek kekuatan 48 jenis logam dari sebuah perusahaan otomotif di Singapura yang bernama BeauMobile. Perusahaan itu mengontak Tuan Chan secara langsung, dan menjanjikannya $5600 jika ia dapat menyelesaikannya dalam satu hari! Itu lebih dari empat kali tarif normal. Jadi besoknya, Tuan Chan duduk seharian di depan mikroskop, dari jam tujuh pagi sampai enam malam. Dan akhirnya dia berhasil mengukur kekerasan semua logam dengan sukses. Asistennya, membantu mencatat hasil2nya. Malam itu juga, seorang karyawan dari BeauMobile datang dengan membawa selembar cek bertuliskan $5600. Tuan Chan menantikan sang pembawa cek, dengan hati yang berdebar-debar, pikirannya sudah melayang ke rumahnya dimana dia akan disambut dengan sangat gembira oleh istri dan anaknya. "Saya Musdi Kartono dari BeauMobile. Apakah Anda Tuan Chan?" tanya si pembawa cek. "Ya, ya, benar." kata Tuan Chan dengan sok sibuk. "Sebentar-sebentar, ini yang terakhir, sungguh, tunggu dua menit lagi, ini yang terakhir..." Musdi mengeluarkan cek itu dari tas kantornya, dan berkata, "Cepat, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi." "OK, SELESAI!" kata Tuan Chan dengan menggebu-gebu. Saat itu juga Tuan Chan beranjak dari kursinya dengan setengah melompat. Segera disambarnya cek dari tangan Musdi. Matanya berkilatan ketika melihat deretan angka yang tertera. Namun, "A.. apa ini?" ujar Tuan Chan, tangannya masih bergetar memegang kertas cek kuat-kuat. "Kertas apa ini?" katanya lagi. "Itu cek seperti yang kami janjikan," kata Musdi. "Terima kasih, Tuan Chan, senang bekerja sama dengan Anda. Tapi karena saya terburu-buru, saya mohon pamit dulu." "Tung.... gu..." bisik Tuan Chan lemah. Musdi Kartono tidak menghiraukannya, dia punya urusan yang jauh lebih penting. Tidak lama kemudian salah satu karyawan PT Houteki menemukan Tuan Chan melongo terduduk di lantai sambil terus memegang kertas cek. Tuan Chan sadar ada yang mendekatinya, lalu berkata "Aku, tak bisa membaca tulisan di kertas ini." "Kertas apa ini?" jawab karyawan itu seraya mengambilnya dari Tuan Chan. "Ini cek bukan? Apa?! 5600 dolar?" "Sudah, kamu kerja saja. Tinggalkan aku!" kata Tuan Chan dengan nada tinggi. "SANA! BAWA SAJA CEKNYA. JANGAN DEKATI SAYA!" Dan itulah terakhir kalinya Tuan Chan bisa membaca. Sejak saat itu Tuan Chan hanya bisa melihat warna-warni dunia, tanpa bisa melihat hal-hal kecil. A Treat for Your Eyes This is a special add-on just to complete the bilingual feature. Parts of this story are probably fiction. Or maybe all of them. But I just wanna say that this article is too long to translate to English. Maybe if someone wants to, I will be very glad to accept it. Just make it a practice of languages for English native speaker... or otherwise. Care for your eyes. Your eyes cannot be bought using money. Maybe a surgery specialists using laser (such as LASIK) on your eyes can cure the abnormality, but there is more than one percent chance of failure and you will become blind if the chance hits you. Not the doctor's fault. OK, so light your room, read this in a normal distance, and don't be disappointed. Waktu Pun Berlalu Malam itu, aku pulang dan menikmati enaknya malam yang bebas dari Tuan Chan dan alat2nya yang mengerikan. Aku langsung mengirim imel ke Departemen Kerja Praktek di universitasku, tak kusangka hanya dalam 20 menit imelku dibalas, "Kami mengerti situasi Anda dan akan segera menindaklanjutinya. Tetapi, berdasarkan aturan, Anda harus tetap bekerja di perusahaan Anda saat ini sampai kami mendapatkan perusahaan baru tempat Anda bekerja." Jadi keesokan harinya, alias hari kedua, aku pergi lagi ke PT Housoku, langsung memasuki ruanganku tanpa berkata apa2. Tuan Chan sama sekali tak terlihat. Bagus, pikirku, liat2 komputer dulu ah, santai aja dulu, buang waktu sebanyak mungkin. Jam sebelas siang, ketika ku lihat keluar menembus jendela di pintu, tak sengaja kulihat Tuan Chan sedang mengendap-endap mendekati pintu, mungkin dia takut bertemu denganku lagi. Tapi dia segera sadar bahwa aku sudah tau, dan dengan menahan malu masuk juga ke ruangan. Aku berkata, "Halo" dengan nada datar, mataku tetap menghadap komputer. Dijawab "Pagi," juga tanpa ekspresi. Empat minggu berlalu. Sejak hari kedua sampai sekarang, Tuan Chan, sang Sup, tidak berkata apa-apa lagi padaku. Jadi dia setiap hari masuk ruangan, kadang telepon (masih dengan Bad English), lalu mondar mandir. Sedangkan aku memakai komputer perusahaan untuk donlot2, ceting, brosing, dan tetap mendapat gaji. Moral Cerita Ini
Written by: yuku |