What's New

  • You like Kejut and want to place a link to Kejut in your website? That's easy! Click here!
    Kejut.com
Email:

Random Articles

 

Pesan editor: Artikel di bawah adalah hasil karya juara satu lomba menulis esai tentang Nasionalisme yang diadakan Pelajar Indonesia NTU, Januari 2007. Karena tujuan utama penulisan esai ini adalah orang Indonesia, maka mohon pengertian Anda yang bukan warga Indonesia. Bagi orang bukan warga Indonesia yang tertarik dengan nasionalisme Indonesia dengan senang hati dipersilakan membaca artikel di bawah.

Editor note: The article below is a product of the first prize winner of the Essay Writing Competition about Nationalism that is done by NTU Indonesian Student, January 2007. Because the main audience was Indonesian people, for those who are not Indonesian citized please acknowledge. For non-Indonesian citizens who are interested in nationalism in Indonesia, we gladly present the article below.

Tidak terasa sudah 61 tahun berlalu sejak bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun rasa kebanggaan dan kebangsaan Indonesia. tampaknya semakin terpuruk. Hal ini sedikit tergambarkan dari hasil polling di kompas.com, di mana dari 153.203 responden 24% merasa bangga sebagai bangsa Indonesia dan 76% merasa tidak bangga sebagai bangsa Indonesia (status polling pada tanggal 20-1-2007 pukul 22:43 WIB). Setelah membaca artikel-artikel saudara Haslim Mulyadi yang berjudul “Happy A Brand New Year and Happy Schooling” dan “Udah Merdekakah Kita”, saya merasa sedikit agak terhibur karena ternyata masih ada orang seperti saudara Haslim yang bersedia berbagi rasa kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia, yang kalau boleh dilihat memang sudah semakin langka di tengah-tengah manusia yang seakan makin “malu” mengaku dirinya sebagai bangsa Indonesia.

Time flies. It’s been 61 years since our nation proclaimed its independence. However the pride of being Indonesian seems to be decreasing. This can be seen by the result of a polling in kompas.com, in which from 153,203 respondents only 24% of them feel proud being Indonesian while 76% feel embarrassed being Indonesian. After reading articles from Haslim Mulyadi titled “Happy A Brand New Year and Happy Schooling” and “Udah Merdekakah Kita”, I feel a bit relieved because it turns out that there are still people like Haslim who willingly share the pride of being Indonesian, which is now becoming more rare between the people who become more embarrassed to acknowledge themselves as Indonesian.

Dalam sebuah seminar tentang nasionalisme Indonesia di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, bermunculan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah nasionalisme itu masih diperlukan, apakah tujuan sebenarnya dari nasionalisme, dan untuk apa nasionalisme masih digembar-gemborkan, bukankah nasionalisme Indonesia itu telah gagal? Serentetan pertanyaan anak-anak muda terdidik ini, yang saya yakini bukanlah pertanyaan yang main-main, tentunya mencerminkan betapa muaknya mereka terhadap segala hal yang dikaitkan dengan nama "Indonesia". Indonesia itu suatu kegagalan. Indonesia itu sesuatu yang tidak patut untuk dipertahankan keberadaannya. Indonesia itu sesuatu yang tak bermakna. Mereka sama sekali tidak punya kebanggaan sedikit pun terhadap Indonesia. Bukan hanya mahasiswa-mahasiswa terpelajar ini sajalah yang kecewa kepada Indonesia, anak-anak muda pedesaan pun tidak percaya lagi kepada Indonesia. Ratusan ribu anak-anak muda desa ini nekat keluar Indonesia dan menjadi tenaga kasar di negara-negara asing. Meskipun mereka dianiaya di sana, tidak menyurutkan minat mereka untuk secara ilegal menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang.

In a seminar about Indonesian nationalism held in a tertiary education institution in Indonesia, many questions appeared. Questions like “Is national pride still needed?”, “What is actually the ultimate purpose of national pride?”, and “Why is the national pride still promoted excessively, hasn’t it failed?” keep being questioned by the students. Those questions, which I’m sure are not prank questions, clearly shows that they’re already fed up by anything labeled “Indonesia”. Indonesia is a failure. Indonesia is something whose existence should not be kept. Indonesia is something meaningless. They don’t have any pride being Indonesian. Not only are those educated students disappointed by Indonesia, but also rural youth. Hundreds of thousands of these people bravely went out of Indonesia in order to be “coolie” in foreign countries. Although there have been stories about these “coolies” got beaten often and treated unfair, it didn’t stop them from applying to work illegally in foreign countries.

Anda mungkin pernah mendengar kata-kata legendaris Presiden John F Kennedy, “jangan bertanya apa yang dapat diberikan negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negara ini”. Mungkin pernyataan ini begitu sulit untuk diterima oleh mereka, karena dalam benak mereka, justru merekalah yang seharusnya bertanya, “apa yang negara telah berikan kepada kami?” Apa yang Indonesia telah berikan kepada kami, anak-anak muda ini, sehingga kami harus rela dianiaya dan menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang? Negeri-negeri ini mampu menghidupi kami. Lebih baik menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang daripada menjadi seorang guru besar di Indonesia. Seorang guru besar di Indonesia digaji Rp. 2,5 juta per bulan, sedangkan kami, para pembantu rumah tangga di negeri orang, digaji Rp. 4 juta-Rp. 5 juta per bulan. Lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri. Jadi, apa gunanya menjadi orang Indonesia?

You may have heard the legendary quote by John F. Kennedy “ask not what your country can do for you — ask what you can do for your country”. Maybe this is the ultimate question that is so hard to be accepted by them, because in their mind, they are the ones who should be asking “What has this country given to me?”. What has Indonesia given to us, the youth, until we must be willingly tortured and be a low-level worker in these foreign countries? These countries can earn us a living. It’s better to be a low-level worker in these foreign countries than to be a professor in Indonesia. A professor in Indonesia will get monthly salary of 2.5 million rupiahs (about 277 USD) while becoming a maid in foreign countries can earn us 4-5 million rupiahs per month (about 442 USD to 552 USD). It’s better to have a rain of gold in another person’s country than to have a rain of stones in our own country. So, what’s the use being an Indonesian?

Kita adalah bangsa yang memiliki kekayaan alam yang begitu banyak, tanah yang begitu subur, hasil laut yang begitu melimpah.

bukan lautan hanya kolam susu
kail dan jala cukup menghidupimu
tiada badai tiada topan kau temui
ikan dan udang menghampiri dirimu
orang bilang tanah kita tanah surga
tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Itulah sepenggal lirik lagu Koes Plus yang secara kasar bisa sedikit menggambarkan seberapa melimpahnya kekayaan alam kita. Tidak berhenti di situ saja, bangsa kita pun memiliki banyak sumber daya manusia yang cerdas dan multitalented. Bangsa kita telah berulang kali mendulang prestasi di berbagai kejuaraan Internasional seperti IPhO, Thomas & Uber Cup, Google Code Jam, dan segudang prestasi lainnya. Semuanya itu sudah seharusnya menjadi kebanggaan kita.

We’re a nation who possesses rich natural resources, fertile soil, and countless sea resources.

not the ocean only a pool of milk
a fishhook and a net are enough to support you
neither storm nor typhoon you meet
fishes and prawns come close to you
people say our land is a land of heaven
wood sticks and stones grow to be crops

It’s a part of Koes Plus’ song “Kolam Susu” which briefly describe how rich our natural resources are. And not only that, our nation has many clever and multitalented human resources. Our nation has won numerous international competitions like IPhO, Thomas and Uber Cup, Google Code Jam, and so on. All this should be taken into account of our pride.

Tetapi di sisi yang ekstrim seringkali kita mempunyai rasa “superiority” yang berlebihan. Kita seringkali memiliki nasionalisme sempit yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan yang kita miliki. Kita merasa bangga kalau timnas kita mempercundangi timnas negara lain, kita merasa bangga kalau perkapita negara kita lebih tinggi dari negara lain, atau kita merasa bangga kalau anak-anak bangsa kita mendulang prestasi di skala dunia. Ya betul, di sini saya menggunakan kata bangga, bukan sombong. Memang tidak ada yang salah dengan rasa bangga itu sendiri, namun yang salah itu adalah objek dari rasa kebanggaan yang kita miliki. Apakah nasionalisme itu cuma sesempit itu? Apakah kita bisa bangga dengan anak-anak muda yang bekerja sebagai tenaga kasar di negeri orang? Apakah kita bisa bangga dengan orang-orang tua yang dengan peluh keringat membajak sawah? Apakah kita bisa bangga dengan para nelayan yang rela meninggalkan keluarganya demi menghidupi keluarga mereka? Apakah kita bisa bangga dengan para pemulung yang setiap hari mengorek-ngorek tempat sampah demi mencari sesuatu yang bisa mereka makan? Ya, saya bangga kepada mereka semua, para petani, nelayan, pembantu, dan bahkan pemulung. Pekerjaan mereka sama mulianya dengan guru, dokter, usahawan, pejabat, bahkan presiden. Dalam kesederhanaannya mereka masih dapat merasakan kebahagiaan - kebahagiaan yang bukan sekedar diukur berdasarkan kekayaan materi ataupun kepandaian. Kebahagiaan yang mereka rasakan ada di dalam hati mereka, yaitu kebahagiaan sebagai rakyat yang terlahir di bumi Indonesia ini. Seorang anak tidak pernah menyesal memiliki ayah yang miskin, apa yang seorang anak inginkan hanyalah kasih sayang dan keadilan dari sang ayah. Walaupun ayahnya hanya seorang pemulung, ia akan tetap bangga kepada ayahnya. Demikian juga kita sebagai bangsa Indonesia, walaupun negara tidak sanggup mencukupi kebutuhan kita, asalkan negara menegakkan keadilan dan mengasihi rakyatnya, itu rasanya sudah cukup.

However, on the extreme side, we sometimes have excessive superiority feeling. We tend to have a narrow nationalism which is only based on our excellence. We became proud when our national team managed to win over other country’s national team, we became proud when our per capita GDP is higher than other country’s, or we became proud when our children managed to win international competitions. Yes, right, I’m using the word proud, not snobbish. There’s nothing wrong with the pride, but the wrong thing is the object of our pride. Is nationalism that narrow? Can we be proud of the young people who work as low-level workers in foreign countries? Can we be proud of the old people who are, while sweating profusely, plowing the field? Can we be proud of the fishermen who willingly left their families to earn a living for them? Can we be proud of those people who search inside rubbish bins in order to find something they can eat? Yes, I’m proud for all of them. The farmers, fishermen, maids.. Their jobs are as noble as teachers’, doctors’, entrepreneurs’, ministers’, even presidents’. In their modesty, they can still get happiness -- happiness which is not measured by how much you have or how clever you are. The happiness they feel in their hearts, the happiness to be a truly Indonesian -- born and living in Indonesia. A child would never regret to have a poor dad, all he/she wants are love and wisdom from him. Even if his/her dad’s job is only to pick up garbage, he/she would still be proud of his/her dad. Same thing applies to us as Indonesians, even though the country can’t make it to meet our demand, as long as the country loves us and keeps the justice, it’s already enough.

Namun, nasionalisme seperti apa yang seharusnya kita miliki? Nasionalisme adalah suatu ikatan yang mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai satu bangsa. Kita semua sebagai bangsa Indonesia adalah satu kesatuan dalam tubuh, tubuh yang tidak hanya terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Orang Jawa, Aceh, Batak, Tionghoa, Ambon, Papua, Bali, Dayak, Toraja, dan suku-suku lainnya dalam keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama mereka adalah anggota tubuh yang menyusun keseluruhan tubuh kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Andaikata kaki berkata, “karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh”, jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Demikian pula mata tidak dapat berkata kepada tangan, “aku tidak membutuhkan engkau.” Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, “aku tidak membutuhkan engkau.”. Kita semua adalah satu kesatuan, jadi jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Sudah seharusnya anggota yang berbeda saling memperhatikan dan saling mengasihi supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh. Namun seringkali perpecahan terjadi akibat adanya anggota tubuh yang ingin menonjolkan kesukuan atau agama mereka dan menolak untuk hidup harmonis dalam satu kesatuan. Itulah yang terjadi di Poso, Sampit, Papua, dan beberapa wilayah Indonesia lainnya.

Yet, what kind of nationalism should we have? Nationalism is some kind of bond that unites one group of people based on the similarity of identity as a nation. We as Indonesians are one unity in a body, a body which contains not only one part, but many parts. Javanese, Batak, Acehnese, Chinese, Ambonese, Papuan, Balinese, Dayak, Torajan, and many other tribes are body parts that build our body, the Republic of Indonesia. Imagine the foot says “because I’m not the hand, I’m not included in a body”, but is it true that it’s not included in a body? Same thing applies if the eye says to the hand “I don’t need you.”. We are one unity, so if one part is in pain, all parts are in pain too; if one part is respected, all parts are happy too. It’s already meant to be that different parts should watch and love each other so that there wouldn’t be any “fight” in a body. On the contrary it often occurs that a fight happens because there is a “body part” that wants to bring up its own superiority and refuses to live peacefully in one unity. That’s what happened to Poso, Sampit, Papua, and several other Indonesian areas.

Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diselenggarakan di Aceh, dilontarkan pertanyaan, “Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang Indonesia?” Perumus pertanyaan tersebut sedang membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim atau aceh. Dengan lain kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis). Dalam keanekaragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya, mereka merasa bangga sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia. Itulah Bhinneka Tunggal Ika yang sejati.

In a survey held by Indonesian Survey Institution in Aceh, a question “What do you regard yourself the most? A person from a certain tribe, a person from a certain religion, or simply an Indonesian?”. The asker wished to compare between ethnic, religion, and ideological identity. The result, the Acehnese is generally more proud to be an Indonesian than a Moslem or an Acehnese. In other words, Indonesian ideological identity has passed over religious identity and ethnic identity. In the wide diversity of ethnics, religions, languages, and cultures, they feel proud to be one unity of Indonesian nation. That’s the true Bhinneka Tunggal Ika.

Demikian pula halnya dengan internasionalisme, sama seperti suku Dayak yang adalah anggota tubuh dari bangsa Indonesia, demikian pula bangsa Indonesia adalah anggota tubuh dari dunia. Seperti kata bung Karno, “Nasionalisme hanya dapat tumbuh subur dalam taman sarinya internasionalisme.” Ketika kita menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia, kita tidak boleh menganggap remeh apalagi membenci bangsa lain. Seringkali di era globalisasi ini, kita mengalami krisis identitas nasional. Krisis ini ditunjukkan dengan munculnya golongan fundamentalis di Indonesia, ini terjadi akibat sebagian masyarakat yang takut kehilangan jati diri mereka, mereka takut terbawa arus globalisasi, atau dengan kata lain mereka takut di-amerikakan. Dan di lain pihak, muncul efek samping yang lain, yaitu nasionalisme sempit seperti kasus Papua-Australia.

Same thing applies to internationalism. The Dayak tribe is a part of Indonesia nation, and so is Indonesia is a part of the world. Bung Karno said “Nationalism can only grow well in internationalism”. When we strive highly for nationalism, we can’t set aside other nations, let alone hating them. It often happens that in this globalization era we have national identity crisis. This crisis is shown by the appearance of fundamentalists in Indonesia. This happened because certain people are afraid to lose their identity and being carried away by globalization, or in other words, they’re afraid to be Americanized. On the other side, another side effect appears, which is the narrow nationalism explained earlier.

Kita seharusnya tidak perlu takut akan pluralisme global karena secara fakta bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang plural, kita terdiri dari berbagai macam suku bangsa, berbagai agama, berbagai budaya, berbagai bahasa dan berbagai golongan. Bangsa kita sebenarnya adalah miniatur dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Ketika suku Jawa berinteraksi dengan suku Batak, Minang atau Madura sebenarnya mereka sedang menghadapi globalisasi dalam lingkup yang lebih kecil. Globalisasi bukanlah musuh yang harus ditakuti tapi yang penting adalah bagaimana membina hubungan antara global dan lokal, antara kaya dan miskin, dan antara kaum mayoritas dan minoritas supaya keharmonisan bisa terwujud. Namun yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, keharmonisan itu seakan-akan menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Di sisi lain, yang muncul adalah kebencian, baik kebencian antar suku, antar agama, dan antar golongan. Bila kita mengingat kasus Sampit, Poso dan Ambon, sebenarnya musuh orang Dayak bukanlah orang Madura, musuh etnis Thionghoa bukanlah etnis Jawa dan musuh orang Islam bukanlah orang Kristen, tetapi musuh kita bersama adalah kebencian di dalam hati kita masing-masing, kebencian yang sudah ditanamkan oleh penjajah Belanda untuk memecah belah kita. Apakah kebencian yang ditanamkan itu sudah mengakar begitu kuat dalam diri kita? Jiwa kita harus melampaui keterbatasan suku, agama dan golongan, dan kita harus bersikap global dalam memandang keanekaragaman yang ada di Indonesia ini. Hanya ada dua unsur yang bisa mengubah Indonesia, yaitu unsur yang menyatukan (kasih) dan unsur yang menceraikan (benci). Mana yang akan kita pilih, itulah yang akan mengubah masa depan kita. Masih ada harapan untuk bangsa ini. Hidup Indonesia!

We should not be afraid of global pluralism because factually the Indonesia nation is a plural nation, we’re comprised of numerous tribes, religions, languages, cultures, and factions. Our nation is actually a miniature from United Nations. When the Javanese interacts with the Batak, Minang, or Madurese, actually they’re facing a globalization in smaller scope. Globalization is not an enemy which should be feared but the important thing is how to keep a good relationship between global and local, between the rich and the poor, between the majority and the minority so that the harmonic environment can be achieved. Unfortunately what happened in Indonesia is the opposite, the harmonic environment seems to be so hard to achieve. What appears is hatred, a hatred between tribes, religions, and factions. If we remember those ethnic-related riots, the Dayak’s enemy is not the Madurese, the Javanese’s enemy is not the Chinese, but the real enemy is the hatred inside our hearts, the hatred that the Dutch has grown to make us fight with each other. Is that hatred really nailed deep inside our hearts? Our souls must get over those boundaries of tribes, religions, and factions. Furthermore, we must “act global” to overcome this diversity in Indonesia. There are only 2 elements that can change Indonesia, which are the uniting element (love) and the separating element (hatred). Our choice will change our future. There are still hopes for this nation. Long live Indonesia!

Imam Benjol

English translation by sylvdoanx

Written by: imambenjol

Hore pertama

anonymous [sg], 20 Jan 2007, 17:06 reply
Yay Kedua! wew wew

anonymous [de], 20 Jan 2007, 17:12 reply
Mantap! Ada kutipan dari sana-sini, lengkap pula dgn gambarnya. Isinya seperti siap untuk di-orasikan. Ayo, kapan2 Imam pidato! hoho...
Menurutku, globalisme lebih ditakutkan pada masalah ekonomi, di mana org yang bermodal kecil jadi kalah dgn pengusaha asing bermodal besar yg masuk.


!peH [sg], 20 Jan 2007, 18:33 reply
yah begitulah kapitalis, ketika sistem ekonomi sosialis runtuh, kapitalisme seakan dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang paling baik (dengan claim bahwa tetap eksisnya kapitalisme membuktikan pernyataan tersebut). Kalau masalah takut org bermodal kecil kalah dgn org bermodal besar, sepertinya dalam lingkup nasional pun hal tersebut sudah cukup sering terjadi. Berapa banyak pemilik modal besar yang ketika ingin mendirikan real estate memaksa warga miskin untuk menjual tanah dengan harga murah, bahkan seringkali menggunakan kekerasan (preman). Di sinilah peran pemerintah, kita memiliki sistem ekonomi pancasila (bukan kapitalis dan bukan sosialis), yang saya rasa adalah cukup baik. Pemerintah mempunyai kekuatan untuk mencegah penjajahan ekonomi semacam ini. Asalkan pemerintah (dalam hal ini DPR) bisa menyusun regulasi yang jelas, saya yakin pengusaha lokal tidak akan terancam. Contohnya adalah India, sebelumnya India adalah negara yang lebih miskin dari Indonesia, namun India berhasil memanfaatkan arus globalisasi ini dengan mengirimkan anak-anak bangsa mereka ke Silicon Valley (pusat IT di amerika), dan akhirnya mereka kembali ke India dengan membawa segudang pengalaman dan pengetahuan yang akhirnya mereka bagikan kembali kepada bangsa mereka. Sekarang India telah membuktikan kompetensinya di bidang IT. IT (jasa) adalah bisnis yang modalnya lebih kecil ketimbang produksi mobil/alat elektronik (barang). Kalau memang kira merasa kalah modal, seharusnya kita masih bisa memilih dan mulai mengasah apa yang bisa menjadi core competencies kita.

imambenjol [sg], 21 Jan 2007, 1:59 reply
ahaha. baca ini.. jadi merasa bersalah waktu dulu nulis di kolom "pojok" koran dinding sekolah..

Upacara bendera penting dilakukan untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme

Yang jadi kuat nasionalisme atau kaki?

ha ha ha. Inget jaman SMA jadinya. =P


sylv [sg], 21 Jan 2007, 1:30 reply
smoga yg tadinya malu jadi orang indo setelah baca artikel ini ngga malu lagi

^^ [sg], 21 Jan 2007, 2:27 reply
tentang kebencian:
- apakah kebencian itu fakta atau pilihan hidup?
- apakah patut mempersalahkan belanda atas kebencian yg ada di org2 indo terhadap sesama orang indo?
dll, dan apakah nasionalisme = pluralisme?
seperti di amrik, orang2nya menghargai pluralisme (saling menghargai antar etnis) tapi gimana dengan nasionalisme? (kerjanya make fun pemerintah melulu terutama kepada bush, dan bisa dibilang malu sama bush)


Derianto Kusuma [us], 22 Jan 2007, 14:30 reply
kebencian itu adalah suatu pilihan, kita bisa memilih untuk mengikuti hati nurani kita untuk tidak membenci orang lain namun kita juga bisa memilih untuk mengabaikan suara hati nurani itu dan menuruti emosi ataupun rasio kita untuk membenci orang lain. memang dalam realita, tidak dapat dipungkiri kebencian itu ada di mana-mana, dan itu fakta yang eksis. Dan Belanda (dalam hal ini sekelompok orang Belanda, bukan bangsa Belanda secara keseluruhan) bisa memanfaatkan kenyataan ini dan menggunakannya untuk kepentingan mereka. Memang tanpa diadu domba pun kebencian itu tetap ada, namun mereka memanfaatkan kenyataan itu untuk memperburuk situasi. Itulah yang patut dipersalahkan.
Sudah tentu jelas kalau nasionalisme tidak sama dengan pluralisme. Nationalism hanyalah satu dari sekian banyak ideologi negara. Masih banyak idelogi lainnya seperti sosialism, marxism, fascism, feminism, environmentalism, liberalism, zionism, religion, dan berbagai kombinasinya. Ideologi amerika memang bukan nasionalism, tentu saja berbeda dengan di Indonesia. public opinion di amerika menjadi suatu masukan yang penting bagi pemerintah, itulah sebabnya di amerika orang tidak hanya mendaftar sebagai anggota partai, tetapi juga sebagai anggota interest group yang ikut aktif mengawasi kebijakan pemerintah.
Soal orang-orang amerika yang bisa menghargai pluralisme itu disebabkan oleh natur mereka. Karena amerika tadinya adalah kumpulan koloni-koloni Inggris, Perancis, Asia, Negro, Latin, dan lain-lain. Dan kemudian mereka sepakat untuk mendirikan sebuah negara. Itulah yang menyebabkan mereka bisa terbiasa hidup dalam kemajemukan. Sebaliknya, Indonesia adalah negara yang terdiri dari suku-suku bangsa, yang semenjak dahulu selalu berperang bahkan dalam lingkungan satu kerajaan pun (lihat ternate tidore, kediri jenggala, atau bunuh-bunuhan Ken Arok dan keturunannya). Bisa dibayangkan betapa sulitnya untuk membentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.


imambenjol [sg], 22 Jan 2007, 15:36 reply
Icic..
Bagaimana menanamkan pluralisme di Indonesia dan apakah bahkan semua pihak setuju?
Dari artikelmu sepertinya nasionalisme indo diartikan pluralisme (menghargai kemajemukan)? kalo bukan apa dong?


Derianto Kusuma [us], 24 Jan 2007, 14:23 reply
mungkin bisa dijawab dari potongan artikel di bawah ini :
POLITIK asumsinya adalah sekular. Tidak ada kebenaran yang dibekukan, dibakukan, atau dipermanenkan. Kebenaran yang telah disepakati bersama secara periodik lima tahunan diadu lagi untuk kemudian dicari dan ditemukan untuk dihidupi bersama. Politik adalah sekular, bukan dalam arti anti-agama, tetapi dalam arti semua orang punya kesempatan, setiap klaim kebenaran punya ruang untuk kemudian naik dan muncul mewarnai. Ada kontestasi di situ.
Karenanya, adalah sah mereka, yang semula bersatu dalam nama civil society dan kini terserak dan kerap berlawanan atas nama perebutan kekuasaan, berdiri dalam identitas komunal yang lebih memberi rasa aman di tengah kecemasan dan ketidakpastian transisi. Pluralisme adalah tuntutan demokrasi. Namun, dimungkinkannya kebenaran yang beragam hidup dalam demokrasi dengan membuat representatif politik atasnya secara vertikal atas dasar apa saja tidak cukup untuk menyatakan adanya pluralisme.
Pluralisme dapat muncul jika dimungkinkan adanya overlapping consensus. Menurut John Rawls, overlapping consensus adalah kesepakatan yang saling meliputi tentang prinsip-prinsip keadilan yang mendasari penataan kehidupan masyarakat yang adil (Rawls, John, 1993, Political Liberalism). Munculnya partai politik dengan dasar identitas komunal bukan jaminan adanya pluralisme dalam demokrasi. Pluralisme sejati dalam demokrasi muncul ketika seseorang atau sebuah komunitas dapat keluar dari identitas komunalnya untuk mengakui dan mengikuti kebenaran yang ada di luar kebenaran komunalnya karena telah teruji secara rasional lintas subyek dan komunitas (intersubyektif).
Di Indonesia yang sangat pluralistis, situasi overlapping consensus belum sungguh-sungguh terjadi. Untuk mewujudkan demokrasi di tengah pluralisme identitas komunal dengan klaim kebenaran masing-masing, situasi overlapping consensus harus tumbuh dengan adanya jaminan hukum dan rasa aman saat seseorang dan komunitas berada di luar identitas komunalnya.
Secara primitif, rasa aman memang diberikan komunitas atas dasar identitas komunal. Akan tetapi, dalam negara modern, rasa aman sejatinya harus ditumbuhkan dan diberikan melalui hukum dan perangkatnya. Namun, kesulitannya, kadang kala dan kerap kali kita enggan dan ragu untuk keluar dari mentalitas komunal yang memberi rasa aman dan perlindungan secara primitif.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/18/opini/920004.htm


imambenjol [us], 25 Jan 2007, 4:15 reply
Bukannya dulu USA juga bermasalah dgn rasialisme yah? Ingat apa yg menyebabkan civil war, ku klux klan, dan ada pula yellow peril. Sekarang ada kecenderungan peningkatan islamophobia dan anti-arabism.
Saya kira Amerika Serikat adalah didirikan dari koloni Inggris dan Perancis di Amerika Utara. Bukan kumpulan koloni org Asia, Negro, Latin, dll. Ya mungkin untuk org Latin ada dari wilayah Meksiko yang dulu dicaplok oleh Amerika. tapi selebihnya adalah pendatang, baik sebagai budak, maupun karena ingin merantau.
Saya rasa memang Amerika Serikat sudah lebih dewasa dalam membentuk pluralisme karena memang sudah cukup panjang sejarahnya berdiri sebagai suatu bangsa, setidaknya lebih panjang dari Indonesia. Tapi di sana tetap masih ada yg namanya diskriminasi.


!peH [sg], 26 Jan 2007, 4:08 reply
ic sepertinya di luar masih ya
di stanford ga keliatan sih
ga ngerti poin essaynya


Derianto Kusuma [us], 26 Jan 2007, 14:49 reply
lumayan tapi saya mau mengkoreksi bahwa sebenernya yg bikin indonnesia ini jelek bobrokkk dan kebanyakan orang indonesia tidak tertarik dengan negaranya sendiri dikarenakan orang2 yg ada di pemerintaha dan orangg22 politikk yg hanya mementingkan diri & golongan sendiri,& rakyat indonesia yg tidak tahu aturan dan kurangnya kesadaran jadai jangan salahkan orang22 yg tidak suka dengan indonesia,,, klo saya memang tidak tertarik & suka sm yg namanya indonesia, saya lebih suka jadi orang yg gentelemen mengakui bahwa indonesia ini bobrokkk, emangnya apa yg mau lo lo lo pada banggain pada bangsa ini.... gua ksi contohhh misalnya terjadinya penyiksaan tki & tkw indoneisa yg ada di luar negri ok maafff klo ada kta22 yg tidakk enakk untuk di dengar/ baca itulahhh akuuu,say bicara apa adanya kenyataan yg ada... tidakk dibuat buat terima kasihhhh.. say tunggu balasannya....sebenernya say punya impian kerja di luar negri seperti anda saya sudahhh berusaha, tapa sampai skrng blm terwujud dan blm ada yg orng yg bisa mewujudkannya, sebenernya saya ingin tahu carannya kerja di luar negri new zealnd dan apa saja yg say harus persiapkan.....

JohnsFery L [id], 17 Feb 2007, 9:03 reply
hahahha gibberish, saudara mabok ya pas nulisny itu?*maaf loh bercanda doang..

dono [us], 22 May 2007, 8:31 reply
Wah bicara nasionalisme tapi masih 'tega' menggunakan istilah "Indo" untuk penyebutan nama negaranya..?


BD [jp], 14 Apr 2007, 12:15 reply
ya gapapa toh make "indo", itu kan panggilan affectionate alias sayang ehehe

dono [us], 22 May 2007, 8:18 reply
mantap artikelnya....
gw salut buat Imam..
kapan yah orang indonesia bisa sadar kaya orang amerika
“ask not what your country can do for you — ask what you can do for your country”.
seandainya orang-orang di indonesia bisa berbuat sama seperti Amerika. pasti bisa lebih maju dari Amerika.
tapi herannya kebanyakan orang indonesia lebih bangga bisa kerja diluar negri walaupun cuman jadi kuli atau jadi pembantu paling mentok jadi karyawan biasa, mungkin cuman 0.00001 % orang indonesia yang berhasil jadi bos diluar negri. ditambah lagi pemerintah selalu memberikan pujian bagi para TKI sebagai pahlawan DEVISA. padahal harga diri bangsa kita di hina, di injak-injak. dimana keperdulian PEMERINTAH INDONESIA untuk memajukan bangsanya. mana bukti pancasila yang ke 5 ? Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, apakah adil bahwa di Indonesia, bahwa hanya orang kaya saja yang bisa mengenyam pendidikan hingga Universitas ? bagaimana nasib mereka yang tidak mampu dalam menuntaskan kuliah mereka. adilkah bahwa orang yang mampu saja yang dapat mendapatkan pelayanan dari rumah sakit. sudah menjadi rahasia publik bahwa rumah sakit di indonesia jarang mau menerima orang kere. mereka hanya mementingkan profit, uang, keuntungan. banyak dokter yang cuman mementingkan keuntungan dari pada keadaan pasien mereka. seperti mall praktek yang sering merugikan pasien dan kesehatan mereka. sekian dulu dech kommentnya...
jadi semangat nih abis baca artikel Imam..


aditya irawan [id], 19 Aug 2007, 16:23 reply
Hiks..
Terharu membaca artikel ini sbg org Indonesia.
Semoga anak SMAK 1 laen baca ini biar mereka sadar
Bahwa Indonesia masih jaya selama kita mendukungnya.


Anton [id], 16 Oct 2007, 4:14 reply
Menurut gua sich, tulisan tersebut (artikel) nya sudah berulang kali ditulis. jadi tidak istimewa. Kalo mau jujur, kenapa Indonesia gak pernah maju. karena kualat.
Yang berjuang merebut kemerdekaan itu siapa.. yach orang-orang kuat semisal Jend. besar Sudirman, Moh Natsir, Agus Salim dsb. akan tetapi setelah itu para pengikutnya disingkirkan oleh kaum nasionalis, kapitalis dan yang bengis serta najis. Sejarah dimanipulasi dengan menghilangkan peran besar mereka dan para pendukungnya. marilah kita sadar


lukman hakim [it], 29 Jan 2008, 4:27 reply
biasa aja tuh orang malu jadi indonesian, tapi hanya org yang goblok yang malu. Indonesia ini di suatu masa nanti akan menjadi jawaban atas kekacauan dunia ini. Indonesialah yang akan mengalahkan super power itu.Amerika <nama hewan>[red: ini contoh komentar yang tidak pantas, mohon sopan, apalagi kalau anda merasa anda akan menjadi warga negara jawaban atas kekacauan dunia ini.].

ilman gie [id], 12 Feb 2008, 14:50 reply
well, just let me make sure of one thing. the problem that keeps Indonesian (wong,arek,urang, dll Indonesia) apart is economy, as long as there is a large gap between the have--and the have not.fair economic development is the only sollution, all other consideration is irrelevant.

yudho [id], 2 Jun 2008, 12:59 reply
kalo mikir problem indonesia sih, awalnya gw pikir ekonomi.. ternyata setelah gw pikir2 lagi gw menyimpulkan PENDIDIKAN dan PEMBELAJARAN kita gagal total.. orang2 goblok dan orang2 ga terdidik bikin indo aga2 jadi ga jelas gini. Negara kita ini jelas2 kacau di Pendidikan soale mo lulusan univ dan jadi mentri pun, nasionalismenya kalah ama individualismenya. liat aja KKN merajalela dan MEMBUDAYA. tanah surga ini ud abis diambil asing gara2 satu dua orang indonesia rela jual tanah air..

peter parker [gb], 24 Jul 2008, 9:34 reply
thanks yh...
dgn adanya artikel ini
bantu aku siapn tugas kmpZ q...


nay. . . [id], 14 Sep 2008, 7:13 reply
Artikelnya bagus, semoga dapat lebih produktip dalam berkarya. Terimakasih

Darianto [id], 13 May 2009, 16:03 reply
Setuju. Ayo berkarya lagi.

yuku [sg], 14 May 2009, 2:27 reply